Langsung ke konten utama

Tentang segala pernah.

Suatu hari kita pernah di sini, berdiri menangkap kenangan yang hilir mudik bersama angin. Engkau bisikkan cinta paling merdeka dari kibasan rindu yang tersangkut pada tali bendera. Cinta yang merah mengguyur kering ranting sepe, bibirmu pucat menelan lagu kebangsaan dan himne-himne lain yang meramaikan pesta rindu yang kita gelar dari dua bibir tempurung tuak yang paling pesakitan.

Matahari berdiri tegak, di ujung alis. Mimpi kita biru langit, tumbuh terhimpit batu-batu jalanan. Engkau lemparkan tatapanmu memecah sunyi ruang-ruang kelas dan hatiku yang menyimpan kebisuan. Cari saja keadilan di sana, di dua bilik jantung yang jelata. 

Kita pernah berdiri di sini, membicarakan sebuah rumah dengan satu potong ubi rebus dan segelas tuak sambil membicarakan gelar-gelar anak-anak kita yang semakin aneh-aneh. Aku ingat, ketika satu tetes tuak jatuh seperti air susu ibumu yang engkau teguk dalam kemarau bibirmu, lalu bersinar-sinar wajahmu membayangkan satu dari mereka menjadi seorang preman berdasi, kita tidak akan diam-diam memilih berpesta di ranjang. 

Awan berarak pulang, sebelum tiang yang pernah menjadi saksi cinta kita berkibar di bawah langit dan rindu yang menggigit patah. Aku dengan segala perih terus berteriak. Mengetuk-ngetuk keadilan di pintu rumah sendiri. Jangan, jangan melupa antara kita.

Komentar